
Jakarta – Saat Orde Baru (Orba) praktis Politik Indonesia didominasi oleh Golongan Karya (Golkar) dimana saat itu hanya ada tiga partai politik (Parpol) yang diakui oleh penguasa Orba, yaitu: Golkar, PPP dan PDI.
Semua lini pemerintahan dikuasai oleh pengurus Golkar maupun simpatisannya, apalagi saat itu Penguasa daerah baik Gubernur, Bupati dan walikota otomatis menjadi petinggi Golkar di daerah masing-masing. Pun dengan Presiden Soeharto menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar.
Pasca tumbangnya kekuasaan Orba selama 32 tahun, otomatis juga mempreteli kekuasaan dan dominasi Golkar di arena politik Indonesia. Dengan Memanfaatkan pengalaman dan ketokohan kader-kadernya, sisa-sisa kekuatan Golkar tetap bisa bertahan di 3 besar Parpol di Indonesia sekaligus Golkar bertranformasi menjadi Partai Golkar mengikuti arah kebebasan di Indonesia seiring dengan bermunculan berbagai Parpol bak jamur di musim hujan pasca lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998.
Gegap gempita kebebasan pasca Orba juga diikuti di ranah politik dengan berdirinya berbagai macam Parpol, tercatat ada 48 Parpol yang mengikuti kontestasi Pemilu 1999 dengan menempatkan partai baru Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenangnya diikuti oleh Partai lama Golkar diposisi kedua.
Angin perubahan pasca Orba seyogyanya menjadi pintu masuk bagi rakyat untuk dapat terlibat lebih jauh dalam politik Indonesia. PDIP dengan dukungan wong cilik menjadi pelepas dahaga masyarakat untuk terlibat jauh dalam proses politik Indonesiapun tidak bisa serta merta melakukan perubahan secara besar terhadap arah politik Indonesia. Disisi lain karena PDIP tidak bisa mendominasi pemerintahan dengan kader-kader terbaik PDIP, karena tetap harus berkoalisi dengan Partai lain baik itu PKB maupun PPP. Apalagi partai lama yaitu Partai Golkar masih bisa menunjukkan kekuatan mesin politiknya dengan menjadi pemenang kedua setelah PDIP.
Dengan melihat fenomena politik tersebut dapat dimaknai bahwa politik Indonesia pasca Orba lebih cenderung terbagi kepada arah politik rakyat yang cenderung melihat politik sebagai realitas (kenyataan) dan politik terbawa perasaan (Baper).
Politik dengan kecenderungan realitas dapat terlihat dengan tetap kuatnya Partai Golkar pasca runtuhnya kekuasaan Orba. Partai Golkar yang didominasi oleh mantan pejabat Orba seharusnya otomatis hilang semua kekuatan mesin politiknya. Akan tetapi, pada kenyataannya, Partai Golkar masih bisa bertahan menjadi pemenang kedua. Realitas ini dikarenakan masyarakat yang tidak peduli dengan politik masih melihat Partai Golkar dan berbagai tokoh kadernya sebagai perpajangan tangan mereka untuk mewakilkan suara mereka.
Disisi lain politik Baper lebih melekat kepada PDIP pasca Orba. PDIP dengan simbol perlawanan Megawati (Ketum) kepada Orba menjadi Oase bagi kaum penentang Orba dan wong cilik untuk dapat menyuarakan perubahan dan kebebasan pasca rezim Orba.
Dengan dukungan wong cilik dan kader militannya, PDIP yang bukan partai modern, tidak dengan mesin partai yang mumpuni dan bukan dihuni oleh kader-kader dengan ketokohannya, eforia perasaan anti Orbalah yang menjadikan PDIP membawa kemenangan pada pemilu 1999.
Pada kenyataannya arah politik realitas dan baper ini pada akhirnya tidak bisa berbuat banyak dalam mewarnai percaturan politik Indonesia. Partai Politik dengan jajaran elit politiknya tentu akan mendahulukan berbagai kepentingan politik dan partainya. Hal tersebut dapat terlihat pasca Pilpres 2019 yang lalu. Tensi politik Pilpres 2019 dengan masa kampanye hampir 7 bulan seakan membelah rakyat menjadi 2 kubu kekuatan. 1 kubu mendukung petahana dengan kandidat 01 (Jokowi – Ma’ruf), di pihak penantang yaitu kandidat 02 (Prabowo – Sandi).
Pada Pilpres 2019 dapat terlihat dengan nyata arah dukungan politik untuk para Capres. Politik realitas lebih mengedepankan kenyataan dan cenderung apatis terhadap gelaran Pilpres dan Pileg. Sedangkan politik Baper lebih cenderung terbawa perasaan dalam mendukung jagoannya sehingga tidak jernih dalam membedakan mana fakta dan mana hoaks. Dukungan politik Baper ini memunculkan terminologi Post-Truth pada Pilpres. Dengan lebih mengedepankan perasaannya, kelompok ini pada prinsipnya menolak kebenaran universal. Realitas dan kebenaran hanyalah persepsi atau terikat pada perspektif dan interpretasi individu.
Akibat dari masih adanya Politik Baper ini, maka berbagai hoaks bertebaran dimana-mana. Berbagai hoaks ini juga menerpa semua kandidat baik Prabowo yang diisukan beragama nonmuslim dan Jokowi diisukan PKI dan keturunan Tionghoa. Era Post-Truth dan bertebarannya hoaks ini seperti diutarakan Pandji Pragiwaksono dalam bukunya Septitank telah dimulai saat Pilkada DKI pada 2017 lalu, dimana saat Anies – Sandi dipastikan sebagai Pemenang Pilkada DKI, maka dengan sigap para buzzer memviralkan bahwa kemenangan tersebut sebagai kemenangan Anies dengan memanfaatkan kelompok Intoleran sekaligus langsung mencap Anies Baswedan sebagai orang yang Intoleran. Padahal saat Anies masih menjabat Mendikbud, Anies menerbitkan Permendikbud Nomor 27 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Permendibud ini memberi jaminan bahwa para penghayat Kepercayaan punya hak yang sama untuk belajar soal kepercayaan di sekolah.
Pasca Pilpres 2019 dan bergabungnya Prabowo menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi – Ma’ruf tentu menjadi pengalaman politik bagi masyarakat yang mengedepankan politik Baper. Bergabungnya Prabowo dalam pemerintahan setelah berkompetisi sangat keras dalam PIlpres 2019 seharusnya menjadi pembelajaran berharga bahwa politik sangat cair dan lebih mengedepankan kepentingan politik, karena politik juga tidak bisa terlepas dengan demokrasi, karena dalam demokrasi politik digunakan untuk mencapai suatu tujuan dan kekuasaan untuk orang-orang yang terlibat didalamnya. Untuk Pemilu 2024, politik secara realitas atau Politik Baper??? (GA).