
MasifMedia – Ketika dua hari lalu terjadi kerusuhan di Capitol Hill – Gedung MPR/DPR Amerika Serikat – oleh para perusuh pendukung Donald Trump yang tidak mau menerima kekalahan dan hendak menyerang sidang paripurna yang akan mengesahkan kemenangan Joe Biden, banyak yang kemudian bilang lagi-lagi Amerika ikut-ikutan Indonesia. Foto perusuh Trump yang menaiki Capitol disandingkan dengan foto gedung DPR/MPR yang diduduki mahasiswa tahun 1998.
Joke-nya kemudian, kita tinggal menunggu Donald Trump kemudian menjadi Menteri Pertahanan maka komplitlah Amerika ikut-ikutan Indonesia.
Namun saya katakan: Amerika tidak ikut-ikutan Indonesia dengan kejadian ini! Justru Indonesia yang harus belajar dari tragedi demokrasi ini, agar tidak ikut-ikutan Amerika. Terutama para pemimpin politiknya harus belajar, untuk tidak lagi menggunakan politik identitas sebagai kendaraan kekuasaan.
Kedua negara ini adalah demokrasi terbesar di dunia, hanya kalah besar dari India. Kedua negara juga punya latar belakang yang sama: dibangun atas keberagaman. Amerika sebagai negara dengan “E Pluribus Unum” (Out of Many, One), dan Indonesia sebagai negara dengan “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi Tetap Satu).
Capres Joe Biden memutuskan untuk bertarung dalam Pilpres AS 2020, dengan alasan utama untuk mencegah dirusaknya rajutan keberagaman Amerika tersebut. Pemicunya adalah kerusuhan Charlottesville, Virginia tahun 2017 ketika kelompok supremasi kulit putih turun ke jalan dan mengakibatkan terbunuhnya seorang wanita dari kelompok masyarakat yang menolaknya. Saat itu, Presiden Donald Trump menolak mengecam kelompok supremasi kulit putih tersebut dengan malahan mengatakan, “There were very fine people on both sides….”, alias kedua kelompok sama baiknya (atau sama jahatnya). Di situlah Joe Biden melihat, bahwa nilai-nilai keberagaman Amerika dalam bahaya. Dan karenanya ia turun gunung ikut Pilpres untuk mencegah Donald Trump kembali berkuasa.
Di dalam keberagaman tersebut, adalah bahaya besar untuk menggunakan salah satu identitas –meskipun ia mayoritas– sebagai jalan kekuasaan. Lihat apa yang terjadi di Amerika dengan kerusuhan Capitol Hill kemarin, paling tidak 5 nyawa menjadi korbannya. Dan lihat apa yang dikuatirkan akan terus terjadi setelahnya: Amerika yang terus terbelah akibat seorang demagog yang memanipulasi kekuatan dengan kendaraan politik identitas.
Karena itu, mungkin memang benar, para politisi Amerika harus belajar dari Prabowo Subianto – dan kemudian Sandiaga Uno – yang meskipun pesaing dalam Pilpres namun kemudian membantu pesaingnya Joko Widodo – atas kebesaran hati sang Presiden.

Mungkin bagi anda yang sinis akan berkata, “Ah, namanya politisi kan ingin mempertahankan peluangnya di 2024.”
Betul, memang demikianlah sejatinya politisi. Namun di sinilah kita bisa melihat, politisi mana yang berpikir untuk persatuan bangsanya, terutama dalam kondisi sulit pandemi ini. 2024 boleh jadi sasaran, namun persatuan bangsa tidak boleh dikorbankan.
Donald Trump saat ini sudah menyatakan akan meninggalkan kekuasaan, namun tetap menyasar Pilpres 2024. Dan karenanya, meski hanya tinggal 10 hari berkuasa namun muncul dorongan untuk memakzulkan Trump sekarang agar dia tidak bisa mencalonkan diri di 2024. Karena dengan menggerakkan pendukungnya untuk menyerang Capitol Hill, semakin terbukti nyata bahwa ia adalah bahaya bagi demokrasi dan kesatuan bangsa.
Para pemimpin politik Indonesia, silakan untuk menyasar Pilpres 2024. Namun lakukan dengan cara mencari solusi bersama-sama atas pandemi, dan bukan dengan politik identitas. Jokowi telah memberi ruang untuk semuanya berperan, mulai dari ruang sebagai menteri maupun kepala daerah. Namun tentunya, tidak boleh ada ruang bagi para tokoh yang terus menggaungkan supremasi satu kelompok dengan merendahkan kelompok lainnya, menjadikan politik identitas sebagai kendaraannya.
Karena Indonesia tidak akan ikut-ikutan Amerika. Kita lebih baik dari Amerika!
Tragedi Demokrasi Amerika, Januari 2021
(Agung Wicaksono, Alumni TN, angkatan 3. Mantan Dirut Transjakarta dan mantan Dirut MRT)