
Jakarta – Ada anggapan keliru, yang dipelihara sebagian kalangan, bahwa Islam tidak bisa bersanding dengan nasionalisme. Islam mengajarkan persaudaraan lintas batas. Basisnya agama. Nasionalisme menciptakan sekat. Basisnya negara. Sekat ini, oleh Sayyed Quthb dan Abu A’lâ al-Mawdûdî, dianggap sebagai sekat jahiliyyah. Nation-state adalah manifestasi dari sekat ashabiyah yang telah dirobohkan Nabi ketika mendirikan Negara Madinah.
Quthb, al-Mawdûdî, dan pengikutnya merancang teokrasi Islam. Dalam konstruksi dawlah Islâmiyah, kekuasaan dipegang oleh umat Islam di bawah Khalîfah atau Amîrul Mukminîn. Mereka mengelola kekuasaan terhadap umat Islam sebagai warga negara kelas utama. Hukum yang berlaku berdasarkan Alqur’an dan Sunnah. Non-Muslim berhak tinggal sebagai warga negara kelas kedua dengan status Ahlu al-Dzimmah. Mereka menyetor jizyah, semacam upeti, sebagai ganti atas jaminan perlindungan atas jiwa dan harta mereka. Sebagai warga negara kelas kedua, mereka dilarang menempati jabatan-jabatan strategis. Non-Muslim boleh datang dan tinggal di negara Islam, atas izin imam, dengan status Musta’man. Status daerah di luar negara Islam terbagi dua. Daerah yang mengikat perjanjian damai disebut sebagai Dârul ‘Ahdi. Penduduknya disebut dengan Kâfir Mu’âhad. Daerah musuh disebut sebagai Dârul Harbi. Penduduknya disebut dengan Kâfir Harbi. Persaudaraan di negara Islam dipupuk berdasarkan ikatan keagamaan (ukhuwwah Islâmiyah).
Konsep ini tidak sinkron dengan nalar nation-state. Warga negara, dalam nation-state, ditempatkan setara. Di atas kertas, tidak ada diskriminasi berdasarkan SARA. Pemimpin adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum yang bersifat kontraktual-konsensual. Kedaulatan atas hukum dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Asas dalam hubungan internasional tidak ditarik berdasarkan agama, tetapi simbiosis mutualisme. Persaudaraan yang dipupuk berdasarkan ikatan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyah). Konsep ini, oleh pengusung teokrasi, tidak bisa diterima. Bagaimana mungkin, menurut mereka, Islam yang hak bersanding setara dengan non-Islam yang batil. Bagaimana mungkin kita menjalankan hukum buatan manusia dan meninggalkan hukum Allah. Bagaimana mungkin non-Muslim berpeluang memegang urusan kaum Muslim sebagai pemimpin mereka.
Kaum fundamentalis Islam menyangkal nalar nation-state dan berniat merobohkannya. Sejak Ottoman Empire bubar pada 1924, mereka mendapati komunitas Islam tersekat dalam banyak nation-state tanpa kepemimpinan tunggal. Mereka mendorong terbentuknya kembali khilafah dengan dua cara. Pertama, cara kekerasan melalui jihad qitâl (perang fisik). Mereka men-taghut-kan nation-state, termasuk yang dipimpin orang Islam, dan berupaya menerornya melalui perjuangan bersenjata. Ini ditempuh oleh NII dan organisasi penerusnya seperti JI (Jamaah Islamiyah) dan JAD (Jamaah Anshorut Daulah). JI terafilasi dengan Al-Qaeda, JAD dengan ISIS. Kedua-duanya pewaris ideologi salafi-jihadi yang dipupuk oleh sayap IM (Ikhwanul Muslimin) garis keras. Kedua, cara politik inkremental.
Mereka setuju perjuangan parlementer dengan membentuk partai politik untuk mendorong legislasi berbasis syariat. Mereka menerima nation-state sebagai Dawlah Islam, bukan khilafah transnasional. Cara kedua, dalam konteks demokrasi, bisa diterima, meski tidak harus disetujui. Cara pertama sama sekali tidak bisa diterima. Ini membuat Islam jadi tersangka akibat ulah kaum teroris. Mereka sendiri, kaum teroris itu, adalah orang yang salah sangka terhadap Islam dan ajarannya.
Pertama, mereka menyangka Islam bertentangan dengan nasionalisme. Padahal, nasionalisme adalah fitrah yang terpatri dalam jiwa manusia untuk terikat dengan etnis dan tanah airnya. Para Nabi, di dalam Alqur’an, menyeru kaumnya dengan seruan Yâ Qaumî (wahai bangsaku). Nabi Muhammad, ketika meninggalkan Mekkah, berucap: “Engkau bumi Allah terbaik yang paling aku cintai. Andai kata kaumku tidak mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu” (HR. Tirmidzi). Dorongan untuk mencintai tanah air adalah fitrah primordial yang tidak ditentang Islam.
Kedua, mereka menyangka Islam adalah agama sekaligus negara (dîn wa dawlah). Padahal, Alqur’an tidak pernah detail, rinci, dan pasti ketika bicara tentang politik dan pemerintahan. Rukun Iman dan Islam, yang disepakati ulama, tidak menyertakan imamah, khilafah atau kewajiban mendirikan negara Islam sebagai pilar agama. Negara, yang di situ rukun Islam dapat dilaksanakan, sudah dianggap sebagai Dârul Islâm. Nabi bahkan hanya menyebut salat dan adzan sebagai indikatornya. “Jika kamu masih mendengar adzan atau melihat masjid, jangan kamu bunuh siapa pun” (HR. Tirmidzi). Dalam kesempatan menjawab pertanyaan sahabat tentang penguasa lalim, bolehkah digulingkan dengan kekerasan, Nabi menjawab “Tidak boleh, selagi dia masih salat bersama kalian” (HR. Muslim).
Ketiga, mereka menyangka nation-state berdiri di atas hukum sekuler yang dibuat manusia, yang berarti meninggalkan hukum Allah. Padahal, Nabi mendirikan negara Madinah berdasarkan Piagam Madinah yang disepakati bersama. Nabi tidak mendirikan negara agama karena melibatkan pemeluk agama Yahudi dengan tiga puak dominan: Bani Nadhir, Bani Quraidhah, dan Bani Qainuqa’. Mereka semua disebut sebagai satu umat bersama kaum muslimin. Nabi juga tidak mendirikan negara etnis karena menyertakan partisipasi masyarakat multietnis. Di dalamnya terdapat kaum pribumi yaitu masyarakat Anshar yang terdiri dari dua suku dominan: Aus dan Khazraj. Di dalamnya juga terdapat masyarakat pendatang, yaitu kaum Muhajirin dengan dua suku dominan: Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Nabi justru mendirikan negara hukum berdasarkan konstitusi yang menaungi semua. Seluruhnya disebut sebagai ummatan wahidah (umat yang satu). Umat, dalam kosa kata Piagam Madinah, bukan hanya merujuk kepada umat Islam, tetapi seluruh warga negara yang berkedudukan sederajat. Tidak ada diskriminasi berbasis SARA. Prosekusi hanya dilakukan terhadap para pelanggar hukum, tanpa pandang bulu. Tak ayal, para ilmuwan modern sering merujuk Piagam Madinah sebagai konstitusi modern pertama karena memperkenalkan konsep yang kelak dikenal sebagai civic nationalism atau nasionalisme kewarganegaraan.
Keempat, mereka meneror negeri Muslim, yang tidak berkonstitusi Islam, dengan alasan menduakan hukum Allah dengan hukum buatan manusia. Padahal, sebagian hukum Allah didelegasikan kepada putusan manusia melalui ijtihad. Ali RA menerima tahkîm (arbitrase) berdasar ijtihad. Para penyeru jargon “Tidak ada hukum selain hukum Allah” berkumpul di lembah Harurah dan kelak disebut Khawarij. Mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah. Ibn Abbas, sepupu Nabi, mematahkan argumen mereka dalam sebuah munâdharah (adu debat). Kata Ibn Abbas, Allah mendelegasikan sebagian hukumnya kepada putusan manusia berdasarkan QS. Al-Maidah/5: 95 dan QS. Al-Nisa’/4: 35). Dari 6.000 orang Khawarij, 2.000 orang menerima argumen Ibn Abbas. Mereka kembali ke barisan, sisanya terbunuh dalam kesesatan.
Pikiran-pikiran Khawarij masih hidup dan gentayangan. Di era modern, mereka menjelma sebagai kaum salafi-jihadi yang menghalalkan darah sesama umat Islam demi menegakkan dawlah Islam atau kekhalifahan Islam yang tidak jelas bentuknya.
M. Kholid Syeirazi
Sekretaris Umum PP ISNU

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. –Terimakasih (Redaksi)-
Sumber berita Asli: https://news.detik.com/berita/d-5540112/piagam-madinah-islam-dan-kebangsaan?tag_from=wp_nhl_20&_ga=2.121582728.1058893633.1618886287-1373950823.1585732248