Jatuhnya (Kembali) Afganistan Ke Taliban, Bagaimana Kedepannya??

Fhoto Copyright DW.com

Sejarah panjang Afganistan tidak terlepas dari pengaruh perebutan asing terhadap negara tersebut, ditambah persaingan antar faksi di negara tersebut. Bahkan, juru runding sekelas Wapres Jusuf kalla belum bisa mendamaikan perseteruan di antara faksi di negara tersebut.

Sejak berakhirnya perang dingin antara Blok Barat (AS) dan Timur (Soviet), maka tesis “Benturan Peradaban” Menurut Huntington ada benarnya, konflik di dunia baru sekarang ini bukan disebabkan oleh faktor ideologis atau ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh apa yang disebut sebagai “benturan peradaban” (the clash of civilization) (lihat Samuel P.Huntington, 1993: 22-49 dan 2003). Setelah Hegomoni AS semakin menguat, semakin terlihat bagaimana AS berusaha mengontrol dan menguasai Dunia.

Untuk melebarkan Hegomoninya, AS mulai menargetkan Afganistan untuk dikuasai. Jauh sebelumnya pada 27 Desember 1979 Soviet telah lebih dulu berusaha menguasai Afganistan dengan pemerintahan “boneka”nya. Pemerintahan boneka tersebut tidak mendapat simpati baik dari beberapa faksi di Afganistan hingga terbentuklah kelompok mujahidin. Untuk mengimbangi pengaruh Soviet ditenggarai AS turut serta “mendanai” kelompok Mujahidin dalam menggulingkan rezim boneka Soviet. Dukungan AS terhadap kelompok Mujahidin ini dengan sandi “operasi Topan” telah menyuburkan gerakan Islamis di Afganistan.

Suburnya gerakan Islamis dan tingginya konflik antar faksi kelompok Mujahidin (1992-1996) telah menyebabkan perang sipil dan perebutan kekuasaan. Konflik dan perang sipil inilah menjadi jalan jatuhnya kelompok Mujahidin ke tangan Kelompok Taliban. Taliban berasal dari bentuk jamak dalam bahasa Arab thalibThalib artinya penuntut atau pencari ilmu yang ditujukan kepada anak laki-laki. Dalam bahasa Persia dan Pashtun, thalib menjadi Taliban. Kelompok ini merupakan kelompok fundamentalis Islam yang terbentuk pada September 1994 dan didominasi oleh sekelompok santri dari etnik Pashtun yang menginginkan adanya pemulihan keamanan dan perdamaian berdasarkan syariat Islam yang sesungguhnya. Kelompok Taliban kemudian berubah menjadi gerakan yang berniat menghancurkan pemerintahan yang tidak sesuai konsep ajaran Islam. Setelah menguasai ibu kota Afganistan, Taliban kemudian bergerak dengan cepat sehingga dapat menduduki pemerintahan pada September 1996. Sejak tahun 1996 Taliban menjadikan Afganistan satu-satunya negara Islam yang menerapkan pemerintahan Islam di atas asas-asas hukum Islam, seperti dikutip dari Council on Foreign Relations, sebuah organisasi think tank nonpartisan. (Tempo.co).

Terbentuknya Taliban ini juga tidak terlepas dari sokongan AS untuk membendung “komunisme” dan pengaruh Soviet di Afganistan. Akan Tetapi, kemesraan AS dan Taliban ini runtuh seketika saat AS menuduh Taliban telah melindungi kelompok Al-Qaeda Pimpinan Osama bin Laden yang telah melakukan serangan teror 11 September 2001 di New York dan Washington, D.C. Tepat sepekan setelah serangan terorisme di AS, pada 7 Oktober 2001, koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) memulai serangan ke Afghanistan yang dikuasai Taliban. Sebulan setelah serangan hingga 2 Mei 2011, saat Osama bin Laden tewas di Pakistan oleh U.S. Navy SEALS otomatis Afganistan berada dalam kontrol AS, walaupun Kelompok Taliban masih menguasai beberapa daerah di Afganistan.

Tidak sampai 3 Bulan sejak Amerika menarik secara resmi pasukannya dari Afganistan pada 1 Mei 2021, sejak 20 tahun sebelumnya mengontrol Afganistan telah membuka jalan lapang bagi Kelompok Taliban untuk berkuasa kembali sehingga pada 15 agustus 2021, kelompok Taliban telah memasuki ibukota Afganistan (Kabul) dan telah menguasai Istana Kepresidenan dimana Presiden Afganistan Ashraf Ghani diberitakan telah meninggalkan Afganistan menuju Tajikistan dengan alasan untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah.

Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, maka secara De Facto Taliban telah kembali berkuasa di Afganistan. Bagaimana Afganistan Ke depannya?? Seorang pejabat Taliban mengatakan, Taliban akan segera mendeklarasikan negara Emirat Islam Afghanistan dari istana kepresidenan, Kabul. “Islamic Emirate of Afghanistan” adalah nama negara di bawah pemerintahan Taliban yang digulingkan oleh pasukan pimpinan AS setelah serangan 11 September 2001. (Republika.co.id)

Lepasnya pengaruh AS di Afganistan bukan tanpa alasan. AS seperti frustasi terhadap jalannya perundingan antara pemerintah Afganistan dan Kelompok Taliban yang tidak kunjung selesai. Selain telah mengeluarkan sangat banyak dana dalam operasi perang Afganistan. Presiden AS saat ini, Joe Biden tidak menjadikan Afganistan sebagai prioritasnya. Apalagi AS telah menyepakati kesepakatan dengan kelompok Taliban untuk tidak melakukan serangan Teror terhadap AS. Seperti dilansir AFP, Minggu (11/7/2021), dalam pidato Presiden AS, Joe Biden di Gedung Putih, penarikan pasukan AS dilakukan karena telah “mencapai” tujuan di Afganistan. Membunuh Osama bin Laden, hingga menurunkan Al Qaeda, dan mencegah lebih banyak serangan ke AS.

Apakah AS akan kembali menyerang dan menguasai Afganistan di masa depan tentu akan menjadi perhatian Pemerintahan AS dalam penentuan parameter keamanan negara. Apalagi faksi-faksi di Afganistan masih rentan konflik satu sama lain. Selain itu, mulai mendekatnya China dengan Taliban juga menjadi salah satu pertimbangan AS mulai menarik diri dari pusaran konflik Afganistan, apalagi saat ini Pemerintahan Joe Biden sedang fokus dalam penanganan Pandemi dan meningkatnya tensi politik, bisnis dan Keamanan dengan China.

Kedekatan Taliban dan China juga merupakan suatu hal baru. China secara diam-diam sepertinya telah memberikan berbagai bantuan terhadap Taliban. Di sisi lain Taliban menjanjikan dukungan kepada China untuk menghalau pemberontakan Uighur. Kerja sama ini tentu akan saling menguntungkan kedua belah pihak dalam jangka pendek, tetapi tidak untuk jangka panjang, karena faksi Taliban dengan pola fikir Islamisnya cepat atau lambat akan mendukung kelompok Uighur yang mayoritas beragama Islam.

Keberanian China berebut pengaruh di Afganistan mungkin menjadi faktor bagi AS untuk mengambil jeda sejenak dari konflik di Afganistan. Suatu saat jika kepentingan diperlukan untuk kembali “mengontrol” tentu akan dilakukan AS. Apalagi tesis “Benturan Peradaban” Menurut Huntington seperti telah menjadi Strategi AS untuk menjustifikasi hegomoni mereka di dunia. (GA).

, , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Show Buttons
Hide Buttons