
MasifMedia – Nahdatul Ulama (NU) sejak berdiri tahun 1926 tidak bisa dilepaskan dengan sejarah politik Indonesia. NU telah menjadi bagian dan jejak sejarah bagi negara Indonesia sejak sebelum kemerdekaan, Proses kemerdekaan, setelah kemerdekaan hingga saat ini. Masa awal persentuhan NU dengan sistem politik Indonesia tampaknya dimulai pada tahun 1936 saat diadakan bahasan fiqih terkait kenegaraan pada muktamar 1936 di Banjarmasin.
Pada muktamar di Banjarmasin NU mengeluarkan keputusan tentang hukum fiqih dari negara Hindia Belanda saat itu. Masalah ini mejadi penting ditanyakan karena menyangkut keabsahan pelaksanaan syariat oleh orang-orang Islam. Apalagi saat itu, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan Pengadilan Agama yang menangani masalah wakaf dan nikah. Jadi, bila negara kolonial itu dianggap kafir maka tidak sah pula sistem Peradilan agama. Menghadapi dilema ini, Muktamar mengambil keputusan: Sesungguhnya negara kita Indonesia (dahulu:Hindia Belanda) dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh penjajah kafir, tetapi nama negara Islam tetap selamanya. Keputusan tersebut diambil sebagai strategi politik pragmatisme dengan menyesuaikan hukum fiqih NU untuk mendapatkan keabsahan terhadap berbagai institusi publik yang dibutuhkan umat Islam. [1] Adanya pembahasan terkait kenegaraan saat masih di zaman penjajahan tersebut memperlihatkan bahwa NU sejak berdiri telah mengambil peran dalam sistem politik Indonesia.
NU dari awal pendiriannya ditujukan pada masalah keagamaan, pendidikan, sosial dan ekonomi dengan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya: sikap tawassuth dan i’tidal (moderat dan adil), sikap tasamuh (toleran terhadap perbedaan) dan sikap tawazun (seimbang). Akan tetapi dalam perjalanannya tidak terlepas dengan persinggungan kenegaraan dan politik Indonesia. Selain bahasan fiqih kenegaraan pada muktamar 1936 di Banjarmasin, NU juga kembali berperan dalam kehidupan kenegaraan dalam hal ini perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dimana KH. Hasyim Asy’ari ( Rais Am Syuriah NU) mengeluarkan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945 yang berisi seruan wajib (fardu ain) untuk Mempertahankan Kemerdekaan melalui Jihad melawan penjajah kafir (NICA) dan hukum bagi pejuang yang meninggal adalah mati syahid.
Dalam hal politik ketatanegaraan, dasar negara dan bentuk negarapun, NU mengakomodasi menjadikan Indonesia sebagai negara berbentuk Republik tidak memaksakan Indonesia menjadi negara Islam dengan mendudukkan Pancasila sebagai dasar negara dengan mengusulkan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” telah cukup mengandung prinsip tauhid. Pada Muktamar 1954 NU juga mengeluarkan keputusan mengangkat Presiden Soekarno dan alat-alat negara sebagai “walliyul amri al-dharuri bisy syaukah” sebagai upaya untuk mensyahkan adanya aparat pemerintah dalam pernikahan menjadi wali hakim, sehingga Presiden sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan harus diangkat sebagai ulil amri (imamah).
Jejak persinggungan bahkan keterlibatan NU dalam kenegaraan dan sistem Politik Indonesia tercatat dalam berbagai keputusan Muktamar seperti pada Muktamar NU 1957 mempersoalkan wanita yang menjadi anggota DPR, Muktamar NU 1961 mengharamkan Land Reform, hingga pada tahun 1952 NU menjadi Partai Politik dan keikutsertaan pada Pemilu 1955 bahkan menjadi tiga besar dalam gelaran Pemilu tahun 1955 tersebut. Pada tahun 1984 NU mengambil keputusan cukup berani dengan seruan kembali ke khittah 1926 dimana menarik diri dari politik praktis yang telah diikuti dari tahun 1952. Pada tahun 1984 juga NU memplopori sebagai Ormas yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Konsekuensi kembali ke khittah 1926 menyebabkan NU mengambil jarak tegas terhadap kehidupan politik Indonesia dengan kembali ke organisasi kemasyarakatan. Walaupun demikian NU tetap bersinggungan secara tidak langsung dengan politik Indonesia dimana NU menentang penentuan 1 Syawal berdasarkan hisab oleh pemerintahan orde baru.
Setelah lama tidak berkecimpung dalam arena politik Indonesia, jatuhnya Orde baru pada 21 Mei 1998 dimana membuka peluang dibukannya ruang demokrasi dengan pendirian berbagai Partai Politik tampaknya juga menginspirasi tokoh NU dengan tokoh Utama Ketua PBNU Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan bebarapa ulama NU lainnya untuk turut serta mendirikan Partai Politik. Pada 23 Juli 1998 didirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dimana secara tidak langsung menjadi anak kandung dari NU. Bahkan, PKB berhasil mendudukkan Gusdur sebagai Pejabat Presiden. Dengan berdirinya PKB dan masuknya Gusdur dalam pemerintahan dan kenegaraan Indonesia sebagai Presiden membuat NU bisa dikatakan terlibat secara nyata baik langsung tidak langsung dalam percaturan sistem politik Indonesia. Walaupun pada perjalananya PKB bukan merupakan kendaraan politik resmi NU, tetapi telah menjadi wadah utama kader NU dalam berkiprah di sistem politik Indonesia baik secara daerah maupun tingkat nasional. Kiprah perjalanan Politik NU terkini dapat terlihat dari tepilihnya Kyai Ma’ruf Amin (Rais Am PBNU) sebagai wakil Presiden terpilih 2019-2024. (GA)
[1] As’ad Said Ali, Pergulatan di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati. (Jakarta:LP3ES,2008), hal. 39-40