
NU – Gelaran Muktamar NU ke-34 yang sedianya akan dilaksanakan pada 23-25 Desember 2021 di Lampung sepertinya tidak akan terlaksana tepat waktu, karena terhalang pembatasan pergerakan masyarakat (PPKM) menyambut Natal dan Tahun Baru 2022. Untuk perubahan jadwalnya juga belum mendapatkan persetujuan dari semua stakeholder bahkan ada selintingan “deadlock” terkait diundur atau dipercepat pelaksanaannya.
Bahkan beredar informasi bahwa Pj. Rais Am, KH. Miftahul Akhyar telah mengeluarkan surat untuk mempercepat penyelenggaraan Muktamar NU pada 17-19 Desember 2022. Walaupun, dipihak lain Sekjend PBNU menginginkan gelaran Muktamar diundur hingga Januari 2022 untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Belum resminya keputusan pelaksanaan Muktamar ini merupakan salah satu dinamika semaraknya Muktamar NU ke-34.
Sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) terbesar di Indonesia, Muktamar NU telah menyita perhatian banyak kalangan di Indonesia. Akan tetapi, sangat disayangkan Muktamar yang mempunyai berbagai agenda penting diantaranya membahas berbagai permasalahan (Batsul Masail), berkumpulnya semua alim ulama seluruh Indonesia dalam satu arena dan banyak kegiatan lain khas Nahdlyin, ternyata hanya di kerucutkan dan dipanaskan oleh panggung perebutan calon Ketua Umum PBNU 2022-2027.
Sebagai Ormas yang pertama kali menerima Pancasila dan tidak alergi dengan sistem demokrasi, tentu NU juga menyesuaikan dengan fatsun organisasi yang harus dilaksanakan dengan fair, transparan dan demokratis. Akan tetapi, NU dengan kekhasannya tidak boleh terkooptasi oleh sistem demokrasi oligarki, elitis dan pragmatis. Pengurus Tandfidziah yang sejatinya adalah pelaksana roga organisasi harus menjadi barometer sistem demokrasi dan ketatalaksanaan organisasi. Pengurus Tandfidziah sebagai perpanjangtanganan jajaran Syuriah tidak boleh tertular sistem demokrasi yang tanpa arah.
Roda organisasi NU yang mulai tertata dan tersistem, seharusnya tidak dicederai oleh hingar bingar proses pergantian pengurus Tandfidziah dengan menegasikan banyak agenda Muktamar lainnya. Apalagi tone dan manuver dari kelompok “Tim Sukses” telah memperlihatkan polarisasi dan berusaha menutup celah calon lain untuk ikut berkompetesi, padahal sejatinya NU sebagai ormas terbesar tidak pernah kehabisan kader terbaik untuk dapat berkhidmah membesarkan NU lebih baik dan modern.
Tidak bisa dipungkiri Ketua PBNU 2022-2027 akan menghadapi gelaran politik serentak 2024. Dan tentu semua masih ingat bagaimana Pilpres 2019 telah menciptakan “Polarisasi” yang tajam di masyarakat. Pembelajaran sangat berharga ini harusnya dapat dipetik oleh para calon Ketua Umum PBNU agar tidak terjadi dalam konstelasi pergantian pemimpin di PBNU. Para calon ketua umum harus sama-sama mengajak semua kader terbaik NU yang memenuhi syarat untuk turut serta bahkan semua calon berlomba berinisiatif memunculkan calon alternatif untuk meminimalisir adanya polarisasi, kegaduhan, provokasi, bahkan penumpang gelap yang dapat merusak kesakralan gelaran Muktamar pada khususnya dan NU pada umummnya, karena sejatinya tidak ada Treshold untuk dapat dipilih sebagai Ketua Umum PBNU 2022-2027. (GA)